Rabu, 28 April 2010

Adat Istiadat Madura

celurit madura

celurit madura

L

etaknya yang berada di sebelah utara Pulau Jawa, Madura atau lebih dikenal dengan pulau garam, mempunyai masyarakat sendiri, dalam arti, mempunyai corak, karakter dan sifat yang berbeda dengan masyarakat jawa. Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat Madura disegani, dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.Kebaikan yang diperoleh oleh masyarakat atau orang Madura akan dibalas dengan serupa atau lebih baik. Namun, jika dia disakiti atau diinjak harga dirinya, tidak menutup kemungkinan dia akan membalas dengan yang lebih kejam. Ada sebuah adagium masyarakat Madura, yang sampai sekarang sudah mendarah daging, ” lebbi baek pote tolang dari pada pote mata“. Banyak orang yang mengatakan bahwa masyarakat Madura itu unik, estetis dan agamis. Bahkan, ada yang mengenal masyarakat “pulau garam” ini adalah masyarakat santri, nan sopan tutur katanya dan kepribadiannya. Kita mungkin mengenal CAROK …. ? Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan). PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M.

wisata madura

wisata madura

S

etelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Senjata yang digunakan selalu celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda. Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan.

Read More......

Sejarah Singkat munculnya dan Karakteristik kota Kolonial di Indonesia

Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda dalam waktu yang sangat lama, yaitu ±350 tahun. Penjajahan yang sangat panjang tersebut tentunya menyebabkan perubahan dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah terciptanya kota-kota kolonial di Indonesia.

Pembentukan kota sebenarnya telah dimulai sejak jaman Pra-Sejarah khususnya setelah dikenal sistem becocok tanam( Food Gathering ). Munculnya budaya bercocok tanam ini sedikit demi sedikit memudarkan budaya nomaden (berpindah-pindah tempat tinggal), dari sinilah manusia mulai menetap. Bersamaan dengan ditemukannya system becocok tanam ini, muncul pula struktur sosial yang bisa disebut desa. Suatu wilayah dapat menghasilkan bahan pangan dengan jumlah dan komoditi yang berbeda dengan wilayah lainnya. Hal ini menyebabkan munculnya sistem ”perdagangan” yang menjadi faktor perubahan dari sebuah village menjadi overgrown village, yang merupakan cikal bakal kota.

Terdapat tiga teori pembentukan kota. Teori-teori tersebut yaitu teori efisiensi, teori surplus dan teori konflik/integrative. Teori efisiensi menyatakan bahwa sebuah kota terbentuk karena sifat kota yang efisien, banyak aktivitas yang dapat dilakukan dalamnya. Teori surplus melihat bahwa surplus makanan merupakan faktor utama dalam pembentukan kota. Sedangkan teori konflik dan integratif sama-sama melihat adanya peran penting lembaga politik kuno dalam perkembangan kota-kota. Namun ketiga teori tersebut berbeda dalam menafsirkan peran lembaga politik tersebut.

Keruntuhan bangsa Romawi mengakibatkan perkembangan kota menjadi pasang-surut, bahkan hanya beberapa kota saja yang dapat bertahan disebebkan popularitas kota menurun, dan tidak memiliki daya tarik.

Perubahan yang besar terjadi sekitar abad ke-17, yaitu setelah adanya Revolusi Industri yang melahirkan sistem kapitalis-industrial di kot-kota. Sistem ini menyebabkan perkembangan kota lebih jauh lagi. Ekonmi kota berubah menjadi perekonomian pasar. Aturan dan norma sosial dalam masyarakat kota menjadi lebih didasarkan oleh paham individualisme, kebebasan, dan rasionalitas. Fungsi Institusi kota menjadi semakin terspesialisasi dan organisasi sosial di kota dijalankan birokrasi yang mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas dan efesiensi.

Kota-kota tua di Indonesia ditemukan di wilayah pedalaman, dan di pesisir-pesisir pantai. Pada kota-kota pesisir inilah cikal bakal kota penting yang memegang peranan penting dalam perdagangan internasional. Kota-kota kolonial di pesisir ini memiliki karakteristik yang lebih kompleks, karena “bergaul” dengan budaya-budaya asing dibanding dengan kota-kota yang berada di pedalaman. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas sosial masyarakat pendukungnya, yang banyak berinteraksi dengan orang asing. Sangat banyak perpaduan-perpaduan budaya lokal dengan budaya asing, hal itu tampak pada jenis, bentuk, dan corak bangunan maupun sarana kehidupan lain. Bangunan-bangunan pada umumnya berupa pelabuhan dagang, dan bangunan lainnya yang mendukung aktivitas perdagangan terutama dengan bangsa asing.

Kota-kota yang berada di pedalaman juga terletak berdampingan dengan Keraton, tidak beda dengan yang ada di pesisir. Hal ini sangat berkaitan dengan kepentingan politik penjajah Belanda untuk mendekati raja-raja Jawa. Meskipun berdampingan, batas area kota kolonial dengan Keraton sangat jelas. Ini menyebabkan terjadinya dua pemerintahan dalam satu wilayah. Desakan kota kolonial terhadap keraton ini berpengaruh pada kehidupan sosialnya. Pada mulanya terjadi ketidak aturan pola kehidupan karena pengaruh Belanda maupun ketidak aturan tata kota.

Keinginan orang-orang Belanda untuk membangun kota yang sama dengan yang ada di Negeri Belanda, oleh karena itu arsitektur bangunan di kota kolonial sangat mirip dengan konstruksi bangunan di Negeri Belanda. Bangsa Belanda sangat membutuhkan komoditi-komoditi yang dihasilkan di Indonesia. Untuk mempertahankan dan melancarkan kehidupan sosial di kota maka dibangunlah sarana transportasi yang mencukupi. Sarana transportasi menjadi sangat penting ,khususnya Kereta Api, dalam proses kolonialisasi Belanda di Indonesia. Dengan cukupnya sarana transportasi, maka aktivitas di dalam kota maupun hubungan antar kota menjadi lancar. Hal ini menjadi salah satu ciri khas karakteristik kota-kota kolonial di Indonesia.

Jika kita menilik beberapa kota kolonial, dapat dijadikan contoh untuk melihat karakteristik kota kolonial. Sebagai contoh adalah kota kolonial Surabaya dan Pasuruan sebagai kota di pesisir, serta kota Blitar dan Malang sebagai kota di pedalaman. Dengan perbandingan kota-kota tersebut dapat ditarik persamaan karakteristik kota kolonial, yaitu arah hadap bangunan pada umumnya, pola bujur Kereta Api, pola jari-jari jalan, dan arah perkembangan kota ( Studi Perbandingan Pola Struktur Pusat Pemerintahan Kota Kolonial Antara Kota-Kota Pesisir Dan Pedalaman Di Jawa Timur (Tinjauan Kota Surabaya dan Pasuruan dengan Kota Malang dan Blitar) Septiana Hariyani*, Christia Meidiana** dan Susilo Kusdiwanggo*** ). Pada kota-kota kolonial juga terdapat benteng-benteng ,sebagai ciri lain kota kolonial, yang digunakan untuk mengantisipasi serangan-serangan dari pemberontak maupun dari bangsa lain yang ingin mengambil alih pemerintahan Belanda di Indonesia.

Read More......

Wujud kebudayaan daerah di Indonesia

Rumah adat

Tarian

Read More......

Kebudayaan daerah

Seluruh kebudayaan daerah yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.

Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.

Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.

Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.

Read More......

Kebudayaan nasional

Kebudayaan nasional secara mudah dimengerti sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:

{{cquote2|Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.

Disebutkan juga pada pasal selanjutnya bahwa kebudayaan nasional juga mencermikan nilai-nilai luhur bangsa. Tampaklah bahwa batasan kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah berorientasi pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh semangat Pancasila.

Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.

Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.

Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.

Read More......

macam-macam budaya indonesia

Indonesia adalah negara yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam. Bahkan semua ini menjadi ciri khas negara kita dimata dunia. Mulai dari Sabang sampai ke Merauke, kita bisa menemukan banyak kebudayaan daerah. Mulai dari bahasa, rumah adat, lagu daerah, dan lain-lain. Tapi, mengapa kini kita lupa akan semua itu? Bahkan yang lebih tragis, banyak generasi muda kita yang lupa atau bahkan tidak mengenal kebudayaan daerah mereka sendiri.


Dulu, di sekolah kita pernah diajarkan tentang kebudayaan daerah. Tapi, mengapa sekarang pelajaran itu seperti tidak ada? Bahkan sempat terjadi kontroversi dengan negara lain tentang sebuah lagu daerah. Mengapa kita seakan lupa dengan ciri khas bangsa kita sendiri? Apa yang akan terjadi jika semua generasi muda kita lupa akan kebudayaan daerah mereka? Kita hanya akan melihat kebudayaan daerah kita di negara lain. Karena banyak warga asing yang mempelajari kebudayaan kita. Mengapa kita tidak pernah mau belajar? Apakah malu jika kita mempelajari kebudayaan daerah kita? Jika kita malu, maka kita takkan pernah bisa melihat generasi-generasi muda berikutnya mengenal kebudayaan daerah mereka sendiri. Jika kita tidak mempertahankannya agar tidak punah, siapa lagi?

Read More......

budaya Bali

Hari Besar Umat Hindu Bali

Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut.


Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :

1. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).

Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.

Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.

2. Nyepi

Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.

Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).

Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.

Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.

Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.

3. Ngembak Geni (Ngembak Api)

Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa . Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa , dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa .


Read More......